Minggu, 21 November 2010

MUNAFIK


Munafik. Satu kata yang menarik untuk dicermati, digali, dan dipahami, mengingat jaman sekarang banyak sekali orang yang berlaku demikian. Kemunafikan mereka yang sarat dengan kebohongan, pengkhianatan, dan intrik kepentingan pribadi. Sebenarnya, apa itu munafik?

Saya sendiri juga agak kebingungan saat ingin merumuskan arti munafik itu sendiri (maklum, saya nulis artikel ini aja dengan bermodal pengalaman dan kenekatan). Menurut apa yang pernah (dan masih) saya rasakan , munafik adalah kebohongan, ketika seseorang berkata A padahal di dalam hatinya sebenarnya ia berucap Z. Orang yang memiliki sifat ini, cenderung rela mengobral dusta dan janji palsu demi mencapai kepuasan dan keuntungan pribadinya. Orang-orang yang masuk dalam tipe ini bahkan rela mengkhianati orang yang memberikan kepercayaan penuh pada mereka. Sungguh memalukan.

Saya sendiri sering mengalami perlakuan tersebut, ditanggapi oleh teman secara munafik. Mereka bilang suka, padahal hatinya berteriak-teriak “Gue nggak suka!!!” Kejujuran yang harusnya penting dalam sebuah hubungan persahabatan, kini bagai dua sisi koin, di mana kejujuran di satu sisi bersanding dengan kemunafikan. Keduanya tinggal diundi, dan diterapkan sesuai keadaan. Kadang kita harus berlaku jujur dan sok innocent, kadang pula kita harus tega untuk menjadi munafik. Sungguh menyedihkan, karena menurut saya hidup dengan memelihara kemunafikan itu identik dengan orang yang menyia-nyiakan dirinya sendiri dalam kebohongan, serta mencelakakan orang lain dengan tipu muslihatnya yang manis dan menggairahkan.

Dewasa ini, sudah berkembang suatu tren di mana “yang munafik yang bakalan eksis”. Orang yang menyuarakan kejujuran, malah diinjak-injak bak rumput liar yang mengganggu tumbuh suburnya pohon “kemunafikan” dan “formalisme”. Saya, yang sebenarnya lebih mengutamakan bertindak jujur, oleh keadaan yang sulit terpaksa harus menjadi munafik, dengan memberi jawaban pada teman saat ulangan, misalnya. “Nic, ntar jangan lupa nengok ke gue, ya. Bantuin gu ya Nic, please, gue belum belajar nih. Tenang aja, kalau kita hati-hati ‘kan gurunya nggak bakalan tahu…” begitulah ucapan teman-temanku. Dan mungkin, tanpa saya sadari masih banyak lagi tingkah laku saya yang munafik lainnya, terdesak oleh keadaan yang menjebak serba sulit.

Apakah aku sendiri termasuk golongan orang munafik? Apakah aku juga menenggelamkan hidupku dalam lumpur kunistaan, dan melumuri mata hati orang lain dengan kedustaan sikap dan perkataanku? Apakah aku begitu? Aku sendiri pun bingung. Aku sadar bahwa terkadang aku munafik, dan aku tidak menyangkal hal itu, karena kemunafikan telah tertanam di hati semua insan. Hanya bedanya, apakah kemunafikan itu kita tumbuh suburkan di dalam hati kita, atau kita bunuh dengan racun “kejujuran” dan kita pangkas dengan gunting “ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa”. Dengan mendekatkan diri pada Tuhan dan selalu senantiasa berbuat jujur walaupun konsekuensinya dijauhi, bahkan dikucilkan, niscaya Tuhan akan memberikan kita keteguhan dalam menjalani hidup sebagai pribadi yang jujur dan jauh dari kata munafik.

Mari, walaupun mungkin kita masih mempunyai bibit-bibit munafik itu dalam hati kita, pangkaslah dan cabutlah itu sampai ke akar-akarnya. Jangan biarkan kemunafikan tumbuh subur dalam hati dan jiwa kita, yang selanjutnya, perlahan tapi pasti, akan membawa kita menuju kesengsaraan sejati di neraka. Hentikan budaya munafik yang secara nyata telah menyebarluaskan keuntungan materialnya untuk menipu dan menjerat kita manusia. Jangan sampai, kita ditolak siapapun karena telah bertransformasi menjadi “Manusia setengah Iblis” dengan semua kebusukan yang berakar dari kemunafikan itu.

Masyarakat Indonesia bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, bangga mengembangkan budaya kejujuran dan cinta kasih. Semoga memang demikian adanya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar